Jumat, 31 Oktober 2008

“Renungkanlah"















“Demi masa sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”


Dalam medan dakwah terkadang, target-target pencapaian dakwah beririsan sangat besar dengan kenikmatan dunia. Ia bisa berwujud kedalam kekuasaan, jabatan, dan kelapangan harta. Mengelola dakwah untuk pencapaian tersebut, diartikan dengan pola kerja rapi, terstruktur, tepat waktu, dan sesuai dalam reward. Lalu perlahan-lahan kita terjebak dalam konteks kerja, dan terlepas dari konteks dakwah. Lepas dari konteks dakwah bukan dalam hal substansial, melainkan dalm hal operasional.

Budaya kerja dakwah, masih sering terjebak dalam “SKS” ( Sistem Kebut Sesaat). Ketika waktu tersisa singkat, kesadaran untuk mengejar target lahir mendesak. Akhirnya menghasilkan kerja yang serabutan, tambal sulam, dan tergesa-gesa.Pada saat seperti itu, amal jama’i adalah pemahaman tanpa makna. Kerja dakwah sangat berorientasi target pencapain dan miskin taushiah. Perlahan-lahan hati menjadi gerah, dan akhirnya miskin sentuhan dan kepekaan.Sehingga bukan keberkahan yang kita rasakan, tapi keresahan dan ketidak nyamanan yang slalu datang menghantui.

Realita dakwah mengambarkan kenyataan yang kontra produktif terhadap sunnatullah-Nya. Seharusnya seorang yang aktif dan memilikii mobilitas dakwah yang tinggi dan dinamis, semakin menikmati kedekatannya dengan Allah SWT. Semakin lembut hatinya dan semakin kuat ukhuwahnya. Namun realita di lapangan, kondisi yang terjadi justru terbalik. Mobilitas dakwah yang kita punya, mengurai jarak antara kita dengan saudara kita. Dinamika yang sedemikian pesat, menumpulkan hati dan perasaan dari getar kelembutan. Mata kita yang terjaga karena amanah, semakin kering dan tak mampu menangis lagi. Hal ini harus membuat kita mengevaluasi kembali, apakah dakwah yang kita usung ini?
Untuk siapakah semua ini kita korbankan ?

Peralihan dakwah dari mihwar muassasi ke mihwar dauli, menyisakan pertanyaan tentang kesiapan kita akan fitnah yang akan ditimbulkannya. Sosok utama. Umar bin Khatab ra, menangis tersedu-sedu, membayangkan kekuasaan dan kejayaan Islam ketika Persia ditaklukkan. Bukan karena bahagia akan kemenangan, melainkan khawatir akan kelalaian para da’i karena kekuasaan dan kekayaan. Jika sahabat mulia yang terjamin keimanan dan pengorbanannya untuk dakwah Islam, mengambil waktu untuk merenungkan dan menangisi dirinya dan ummat yang dimudahkan Allah dalam kemenangan, maka apalagi kita ? Kita yang belum lagi membuktikan ketsiqohan kita kepada Allah, Islam, dan Dakwah. Kita yang masih sering menakar amanah dakwah kita dengan kepentingan dan kebutuhan hidup. Kita yang masih sering lalai dengan jadwal dan bekerja serabutan. Kita masih sering menakar-nakar amanah dakwah yang kita lakukan. Bahkan sering salah niat dalam menjalankan amah. Tentunya kitalah yang paling layak untuk menangis.


Sesungguhnya para penghuni syurga, dari kalangan sahabat yang Rasulullah kabarkan, adalah sosok-sosok lembut yang mudah berurai air mata. Jika masih mereka menjadi contoh hidup perjalanan dakwah kita, maka mari melihat kelemahan diri kita masing-masing. Sesungguhnya mereka menghabiskan waktu hidupnya lebih banyak dari yang mampu yang kita sumbangkan untuk dakwah. Mereka membelanjakan hartanya lebih banyak dari kita. Mereka lebih mempunyai loyalitas yang lebih luar biasa dari kita.

Jika kita tidak mampu mengejar semua keutamaan mereka. Maka minimal, ambilah waktu untuk menangisi kelalaian kita. Semoga Allah Menyayangi kita yang mengakui kelemahan dan kelalaian yang begitu banyak. Semoga Allah merahmati kita dengan air mata ketulusan. Semoga Allah menjadikan mata dan airnya sebagai saksi taubat dan penyerahan diri kita. Wallahu’alam.