Selasa, 28 April 2009

PAKU DI TIANG


Ada seorang ayah yang mempunyai seorang anak lelaki bernama Mat. Mat tumbuh menjadi seorang yang lalai menunaikan perintah agama. Meskipun telah berbuih ajakan dan nasihat, suruhan dan perintah dari ayahnya agar Mat sholat, puasa dan amal kebajikan lainnya, tetapi dia tetap meninggalkannya. Sebaliknya amal kejahatan menjadi kebiasaannya.

Kaki judi, kaki botol, dan seribu satu macam jenis kaki lagi menjadi kemegahannya. Suatu hari si ayah tadi memanggil anaknya dan berkata, "Mat, kau ini sangat lalai dan selalu berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku di tiang tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan, maka aku akan benamkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini."

Ayahnya berbuat seperti yang dia janjikan, dan setiap hari dia akan memukulkan beberapa batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu hari. Jarang sekali dia mencabut keluar paku dari tiang.

Hari berlalu silih berganti, beberapa purnama berlalu, dari musim hujan berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun terus berputar. Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat kerana hujan dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang dipenuhi dengan paku-paku yang menjijikkan pandangan mata, timbullah rasa malu. Maka dia pun berazamlah untuk memperbaiki dirinya. Mulai detik itu, Mat akan shalat. Hari itu saja lima butir paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknya shalat lagi ditambah dengan sunnah-sunnahnya. Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya Mat tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Mat lakukan dan semakin banyak maksiat yang ditinggal, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang melekat di tiang.

Maka ayahnyapun memanggil anaknya dan berkata: "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan akan aku cabut sekarang. Tidakkah kamu gembira?" Mat merenung menatap tiang tersebut, tapi bukannya gembira seperti yang disangka oleh ayahnya, dia mulai menangis terisak-isak. "Kenapa anakku?" tanya ayahnya, "aku menyangka tentunya kau gembira karena semua paku-paku tadi telah tiada." Dengan nada yang sayu Mat mengeluh, "Wahai ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada, tapi aku bersedih bekas-bekas lubang dari paku itu tetap kekal ditiang, bersama dengan karatnya."

Saudaraku yang dirahmati Allah, Dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hingga menjadi suatu kebiasaan, kita mungkin bisa mengatasinya, atau secara beransur-ansur menghapuskannya, tapi ingatlah bahwa bekasnya akan kekal. karna itu, bila kita menyadari kalau diri ini melakukan suatu kemungkaran, ataupun sedang diambang pintu kebiasaan yang buruk, maka berhentilah segera. Karna setiap kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi yang akan meninggalkan bekas pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut kemudiannya. Apatah lagi kalau kita biarkan ianya berkarat dalam diri ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagi kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamu'alaikum ww....kepada para pembaca yuk...beri kritik dan saran tuk perbaikan blog FSDI kedepan..